Klien dan Masalah



Dalam bimbingan dan konseling terdapat beberapa unsur yang harus ada agar bimbingan dan konseling berjalan dengan baik dan memenuhi syarat. Di dalamnya terdapat seorang konselor, dan seorang konselor sebagai
helping profesion tidak akan dipanggil konselor tanpa adanya seseorang yang memiliki masalah. Orang yang memiliki masalah disebut klien.



Seorang klien akan mendatangi konselor dengan tujuan memecahkan masalah yang dimilikinya. Karena konselor adalah pihak yang memberikan bantuan, sedangkan klien adalah pihak yang membutuhkan bantuan. Dalam bimbingan dan konseling dibutuhkan adanya seorang konselor, dan tak luput dari adanya sebuah permasalahan yang dimiliki oleh seorang lien.



Masalah itu sendiri adalah sebuah tantangan bagi seorang konselor untuk mengembangkan intelektualitas yang dimilikinya sebagai helping profession, yakni sesuatu yang perlu diselesaikan. Dengan teori-teori yang ada, konselor diharapkan mampu menyelesaikan masalah klien sesuai harapan dan kebutuhan klien tersebut.

Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai banyak hal tentang seorang klien dan bermacam-macam masalah yang dimilikinya.


A.    Klien (Konseli)
Apabila konselor adalah pihak yang membantu individu menyelesaikan masalahnya didalam proses konseling, maka klien atau konseli bertindak sebaliknya yaitu sebagai pihak yang menerima bantuan. Walaupun terkadang masalah yang dialami individu adalah sama, namun reaksi yang muncul dari tiap-tiap individu tentu berbeda. Untuk itulah seorang konselor sebagai helping profession perlu memahami klien dengan sebenar-benarnya.[1]
Ada beberapa pendapat menurut para ahli mengenai siapakah yang disebut klien itu. Willis mendefinisikan klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan professional oleh seorang konselor atas permintaannya sendiri atau orang lain.[2] Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Rogers yang menyatakan bahwa klien adalah orang yang datang kepada konselor dalam kondisi cemas dan tidak kongruensi.[3]
Klien atau konseli adalah individu yang memperoleh bantuan, namun dia bukanlah objek atau individu yang pasif, atau statis, atau tidak memiliki kekuatan apapun. Dalam konseling, klien merupakan subjek yang mempunyai kekuatan, motivasi, kemauan yang kuat untuk berubah dan dia adalah pelaku bagi perubahan yang ada pada dirinya.
Klien atau konseli, disebut pula helpee, yaitu orang atau individu yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Klien merupakan salah satu faktor yang menunjukkan keberhasilan konseling selain karena kondisi yang diciptakan konselor, cara penanganan, dan aspek konselor sendiri.[4]
Keterangan-keterangan dari beberapa literatur menyebutkan bahwa kehadiran klien untuk menjalani proses konseling bukan tanpa alasan, melainkan ada kebutuhan, harapan yang mendesak, dan sudah menemui jalan buntu, sehingga klien tersebut menyadari bahwa dirinya membutuhkan bantuan dari seseorang yang professional untuk menangani masalahnya.
Tetapi ada kalanya seorang klien hadir dalam konseling bukan karena keinginannya sendiri, bahkan klien tidak sadar bahwa ia memiliki masalah dan menolak menemui konselor. Hal tersebut dikarenakan ketakutan dianggap memiliki gangguan kepribadian. Maka untuk menyikapi klien seperti ini peran keluarga sangat penting untuk menyadarkan klien bahwa konseling merupakan cara yang tepat untuk mengeluarkannya dari permasalahan.[5]
1.      Karakteristik Klien
Aspek-aspek kepribadian klien yang terdiri dari emosi, sikap, harapan, motivasi dan kecemasan akan terungkap pada saat klien menjalani proses konseling. Klien akan mambuka diri dan kehidupannya secara perlahan, hal itu akan muncul dengan sengaja ataupun tidak oleh klien.
Akan tetapi ada klien yang bersikap tertutup dan tidak perduli pada konselornya, maka inilah tugas konselor untuk berupaya memahami karakteristik klien tersebut agar dapat mengeksplorasi masalah.
a.       Klien Sukarela
Klien sukarela adalah klien yang datang pada konselor dengan kesadarannya sendiri karena memiliki maksud dan tujuan tertentu. Adapun ciri-ciri klien sukarela adalah :
·         Datang atas kemauan sendiri.
·         Segera dapat beradaptasi dengan konselor.
·         Mudah terbuka dalam membicarakan masalahnya.
·         Bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling.
·         Berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas.
·         Sikap bersahabat, mengharapkan bantuan.
·         Bersedia mengungkap rahasia walaupun menyakitkan.
Meskipun klien sukarela datang atas kesadarannya sendiri, namun konselor juga harus tetap mempelajari sikap emosi, dan harapannya terhadap proses konseling.
b.      Klien Terpaksa
Berbeda dengan klien sukarela, klien terpaksa adalah klien yang datang pada konselor bukan atas keinginannya sendiri, melainkan atas dorongan teman atau keluarga. Adapun ciri-ciri klien terpaksa adalah:
·         Klien bersifat tertutup.
·         Enggan berbicara.
·         Curiga terhadap konselor.
·         Kurang bersahabat.
·         Menolak secara halus bantuan konselor.
Dalam menghadapi klien seperti ini, konselor harus meyakinkan klien bahwa konseling bukanlah wadah yang diperuntukkan untuk orang-orang yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya semata.
c.       Klien Enggan (Reluctant Client)
Klien enggan adalah klien yang datang pada konselor bukan untuk dibantu menyelesaikan masalahnya melainkan karena senang berbincang-bincang dengan konselor. Upaya yang dapat dilakukan untuk klien seperti ini adalah:
·         Menyadarkan kekeliruannya.
·         Memberi kesempatan agar klien dibimbing oleh konselor lain.
d.      Klien Bermusuhan
Klien bermusuhan merupakan klien terpaksa yang bermasalah dengan cukup serius. Ciri-ciri klien bermusuhan adalah:
·         Tertutup
·         Menentang
·         Bermusuhan
·         Menolak secara terbuka.
Hal yang dapat dilakukan oleh konselor terhadap klien bermusuhan adalah bersikap ramah, bersahabat dan empati. Toleransi terhadap perilaku klien yang tampak. Meningkatkan kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai bahasa tubuh klien. Memahami keinginan klien yang tidak ingin dibimbing. Mengajak negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentang konseling.
e.       Klien Krisis
Klien krisis adalah klien yang mendapat musibah seperti kematian orang terdekat, kebakaran rumah dan pemerkosaan. Tugas konselor disini adalah membuat klien menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Adapun ciri-cirinya adalah:
·         Menutup diri dari dunia luar.
·         Sangat emosional.
·         Tidak berdaya
·         Ada yang mengalami hysteria.
·         Kurang mampu berpikir rasional.
·         Tidak mampu mengurus diri dan keluarga.
·         Membutuhkan orang yang dapat dipercaya.
Klien krisis ini sangat membutuhkan penanganan yang cepat. Setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh konselor seperti menentukan sejauh mana kondisi krisis klien. Menentukan sumber yang dapat membantu klien, misalnya saudara, orang tua, atau teman. Bantuan dalam bentuk pertolongan langsung, misalnya memberikan peluang kepada klien untuk menyalurkan perasaannya kemudian memberi bantuan psikologis.[6]
Lesmana menambahkan bahwa selain karakteristik diatas, karakteristik klien yang juga memegang peranan penting dalam konseling adalah kesiapan klien untuk berubah. Kesiapan klien untuk berubah merupakan kunci utama keberhasilan konseling.[7]
2.      Harapan Klien
Harapan dapat diartikan sebagai keinginan yang ingin dipenuhi oleh klien. Shertzer dan Stone mengungkapkan bahwa harapan klien adalah agar proses konseling dapat menghasilkan pemecahan persoalan pribadi yang dihadapi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa klien yang datang pada konselor memiliki harapan yang berbeda-beda. Dan tugas konselor untuk mengetahui apa yang diharapkan oleh kliennya. Seorang konselor tidak boleh menyepelekan harapan klien karena akan membuatnya merasa tidak dimengerti. Inilah yang menimbulkan masalah baru dalam praktik konseling.[8]
Dennis Palazzo dalam penelitiannya mengungkapkan beberapa harapan klien yang bermacam-macam sebagai berikut:
a.       Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan.
b.      Untuk mengetahui lebih jauh model konseling yang sesuai dengan masalahnya.
c.       Untuk mengetahui masalah yang dialami sebenarnya.
d.      Memperoleh kepercayaan dan ketenangan diri.
e.       Memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya.
f.       Mendapat dukungan tentang apa yang harus dilakukan.
g.      Memperoleh kepercayaan dalam melakukan tindakan baru yang berbeda dari orang lain.
h.      Mengetahui perasaan apa yang sebenarnya dialami dan bagaimana seharusnya bertingkah laku.
i.        Mendapatkan saran atau nasihat agar memiliki hidup yang bermakna dan berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
j.        Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya.
k.      Agar dapat melakukan kontrol diri yang lebih baik.
l.        Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan dirasakan.
m.    Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus.[9]
Seorang konselor harus menggabungkan antara teori yang ingin digunakannya dengan harapan klien. Karena teori merupakan dasar seorang konselor berpijak dalam menangani kliennya. Sementara harapan adalah dasar seorang klien datang kepada konselor.[10]
3.      Kebutuhan Klien
Sama halnya dengan harapan, klien juga memiliki kebutuhan yang menjadi alasannya mengikuti proses konseling. Kebutuhan tersebut tentu saja adalah kebutuhan psikologis. Yang termasuk kebutuhan psikologis meliputi kebutuhan kasih sayang, rasa memiliki, berprestasi, mandiri, pengakuan sosial, dan kebutuhan harga diri.
Selain itu Journad menambahkan bahwa yang termasuk kebutuhan individu antara lain meliputi kebutuhan bertahan hidup, kebutuhan cinta, kebutuhan fisik, kebutuhan status, sukses dan harga diri, kebutuhan kesehatan mental dan fisik, kebutuhan kebebasan, kebutuhan akan tantangan, ketegasan kognitif, dan kebutuhan pengalaman yang beragam. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut akan menimbulkan permasalahan dalam kehidupan individu.
Beberapa klien yang datang atas dorongan orang lain, bukan atas dasar keinginannya sendiri memiliki kebutuhan yang sama, hanya saja seringkali terhalang oleh kecemasan apabila konselor mengatahui sisi negatif atau keburukan yang dimilikinya. Dan terkadang klien yang datang dengan keinginan sendiri justru tidak mengetahui apa kebutuhan yang ingin ia penuhi.
Seorang konselor yang masih mementingkan kebutuhannya di atas kepentingan klien akan menimbulkan efek negatif yang seharusnya tidak perlu terjadi. Maka dalam menangani kliennya, seorang konselor harus menempatkan kepentingan klien di atas kepentingan pribadi. Karena klien yang tidak terpenuhi kebutuhannya biasanya akan meninggalkan proses konseling sebelum terminasi. Apabila ini terjadi maka konselor telah melakukan kekeliruan dalam peranannya sebagai helping profession.


B.     Masalah
Menurut kamus ilmiah populer, masalah berarti problem, perihal, soal atau persoalan. Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Setiap individu sebagai objek konseling akan menghadapi berbagai jenis persoalan atau masalah yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu seorang konselong perlu memberikan bimbingan yang berbeda pula, sesuai dengan jenis permasalahannya. Dilihat dari individu yang mengalaminya masalah terbagi menjadi dua, yaitu masalah individu (personal/pribadi) dan masalah kelompok atau masalah bersama. Sehingga dalam penanganannya ada bimbingan individual dan ada jenis bimbingan kelompok.
Sedangkan jika dilihat dari dimana masalah itu terjadi dalam hubungan dengan suatu situasi, ada masalah keluarga yaitu yang terjadi dalam hubungan situasi keluarga, masalah sekolah, yaitu masalah yang berhubungan dengan sekolah,  dan ada masalah pekerjaan yaitu masalah yang berhubungan dengan pekerjaan.[11]
Problem atau masalah tersebut biasanya bersumber dari hambatan dalam aspek fisik, emosional, sosial dan intelektual. Kesiapan individu untuk memahami dirinya sendiri terhadap problematika sering menentukan sukses atau tidaknya individu itu menghadapi problemnya sendiri. Bantuan dari orang tua atau orang terdekat lainnya sangat berpengaruh dan menentukan pula individu bagaimana meyakinkan bahwa hambatan atau masalah itu wajar terjadi.[12]
Dalam wawancara konseling itulah seorang klien mengemukakan masalah-masalah yang sedang ia hadapi kepada konselor, dan konselor menciptakan suasana hubungan yang akrab dengan menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik wawancara konseling sedemikian rupa, sehingga masalahnya dapat terjelajahi dan pribadi klien terangsang untuk mengatasi masalah yang sedang ia hadapi menggunakan kekuatannya sendiri.
Pada dasarnya proses konseling adalah usaha untuk menghidupkan dan mendayagunakan secara penuh fingsi-fungsi yang minimal secara potensial organismik ada pada diri klien. Jika fungsi tersebut berjalan dengan baik, dapat diharapkan dinamika kehidupan klien akan kembali berjalan dengan wajar mengarah kepada tujuan yang positif.[13]
1.      Masalah Pribadi
Dalam kondisi tertentu kadang-kadang individu dihadapkan pada suatu kesulitan yang bersumber dari dalam dirinya sendiri. Masalah-masalah ini timbul karena individu merasa kurang berhasil dalam menghadapi dan menyesuaikan diri dengan hal-hal dari dalam dirinya sendiri. Misalnya, konflik yang berlarut-larut, gejala-gejala frustasi atau neurose merupakan sumber timbulnya masalah-masalah pribadi ini.
Masalah-masalah semacam ini banyak dialami oleh para pemuda pada waktu menjelang masa adolesensi yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang cepat, baik fisik maupun mental.
2.      Masalah Sosial
Terkadang individu mengalami kesulitan atau masalah dalam hubungannya dengan individu lain atau dengan lingkungan sosialnya. Masalah itu dapat timbul karena kekurangmampuan individu untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya, atau lingkungan sosial itu sendiri yang kurang sesuai dengan keadaan dirinya. Misalanya kesulitan dalam persahabatan, mencari teman, merasa terasing dalam pekerjaan-pekerjaan kelompok, memperoleh penyesuain dalam kegiatan-kegiatan kelompok, dalam menghadapi situasi sosial yang baru, dan sebagainya.
Kita sering mendapatkan individu yang sebetulnya pandai dalam pelajaran, tetapi kurang mampu dalam berhubungan dengan teman-temannya. Ia kurang disenangi dalam pergaulan, bahkan diasingkan. Masalah-masalah tersebut sering disebut sebagai masalah social dan merupakan salah satu jenis masalah yang sering dihadapi oleh individu.[14]
3.      Masalah Pekerjaan
Masalah-masalah ini sering berhubungan dengan pemilihan pekerjaan. Misalnya. Dalam memilih jenis-jenis pekerjaan yang cocok dengan dirinya, memilih latihan-latihan tertentu untuk pekerjaan tertentu, mendapatkan penjelasan tentang jenis pekerjaan, memperoleh penyesuaian yang baik dalam hubunga pekerjaan tertentu, penempatan dalam pekerjaan tertentu.


[1] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 46.
[2] Ibid, hal. 46.
[3] Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2011), hal. 41
[4] Ibid, hal. 78.
[5] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik, hal. 47.
[6] Ibid., hal. 51.
[7] Ibid., hal. 78.
[8] Ibid., hal. 52.
[9] Latipun, Psikologi Konseling, hal. 42.
[10] Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik hal. 53.
[11] I. Djumhur, Bimbingan dan penyuluhan di sekolah, (Bandung: C.V. ILMU, 1994), hal. 32.
[12] Elfi Mu’awanah, Bimbingan Konseling Islam, (Jakarta: TERAS, 2012), hal. 22.
[13] Priyanto dan Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), hal. 106.
[14] I. Djumhur, Bimbingan dan penyuluhan di sekolah, hal. 34.
0 Komentar untuk "Klien dan Masalah"

Back To Top